PSHT Kutai Timur - Arti dan makna kenapa kita memakai UboRampen untuk acara Pengesahan. Aura
semiotika (ilmu tanda) dari macam-macam syarat (ubo rampe) dalam sebuah
konsep ritual peringatan dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah pesan
yang tersandikan. Berangkat dari sebuah local genius,
nenek moyang telah memberikan pesan-pesan yang terselubung, tinggal
bagaimana kita mampu memahami dan memaknai dari tiap pesan yang
“sengaja” dikirimkan oleh para leluhur untuk kita agar lebih mencintai
dan mengambil manfaat dari hasil sebuah warisan budaya. tentang apa saja
dan bagaimana makna dari Ubo Rampe berikut ulasannya
Ubo Rampe (konsep merujuk peralatan dan semua piranti juga syarat melakukan sebuah ritual/ kegiatan) Setiap
acara peringatan ulang tahun, atau apapun dalam kelompok-kelompok
sosial masyarakat jawa biasanya tumpeng selalu menjadi syarat ritual.
Tidak hanya saat memperingati hari ulang tahun seseorang, tumpeng juga
menyertai acara ulang tahun lembaga baik peresmian, kenaikan pangkat
sampai acara wetonan.
Dalam upacara itu, tumpeng dipotong (seharusnya dibelah) dan diberikan
kepada generasi penerus. Biasanya tumpeng yang disajikan adalah tumpeng
robyong. Lalu apakah ini sekadar gagah-gagahan atau mempunyai makna?
Tumpeng
robyong merupakan lambang manusia yang taat beragama dan giat
bekerja. Selain tumpeng robyong, ada sekitar 40-an benda yang selalu
menyertai sebuah ritual upacara sebagai sesaji, terutama dalam acara
ritual yang diadakan oleh keraton. Setiap barang ataupun benda mempunyai
makna tersendiri. Agaknya semua ubo rampe tersebut memiliki aura
konstruksial makna. :
Cengkir atau
buah kelapa hijau dan kelapa gading yang masih muda, merupakan lambang
keandalan pikiran dan kekuatan batin. Maksudnya, dalam bertindak, kita
tidak boleh hanya mengandalkan pikiran dan fisik, tetapi juga hati dan
akal budi.
Kembang mayang melambangkan sepasang manusia yang mantap lahir batin dan siap menyemaikan bibit-bibit manusia unggul generasi berikutnya.
Bubur.
Berbagai jenis bubur biasanya disediakan, seperti bubur Sura, bubur
Sengkala, dan bubur Pancawarna, yang merupakan lambang cikal bakal
manusia. Bubur ini dimaksudkan agar kita selalu ingat proses kelahiran
bayi sehingga timbul rasa hormat pada ibu dan ayah serta Tuhan Yang Maha
Esa. Selain itu juga harapan agar kita bisa mengendalikan nafsu
angkara.
Sekapur sirih melambangkan
segala persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam hidupnya. Maksud dari
penyajian sekapur sirih ini adalah agar kita selalu siap dan kuat dalam
menghadapi segala cobaan dan benturan dalam hidup.
Kembang setaman adalah lambang sosialisasi diri. Maksudnya agar kita selalu berusaha menjaga harumnya nama diri, kerabat, dan teman.
Kembang pancawarna yang
terdiri dari melati, mawar merah, (kantil) gading putih, gading kuning,
dan bunga kenanga, melambangkan cinta kasih yang selalu berkembang dan
harum mewangi.
Santan kanil (kental)
merupakan lambang sari-sari kehidupan dan juga susu ibu. Dimaksudkan
agar kita selalu mengingat jasa dan pengorbanan ibu yang telah
melahirkan kita.
Damar kembang dibuat
dari kelapa yang sudah dibuang serabut dan batoknya, lalu dilubangi
bagian yang merupakan bakal tunas, diisi dengan minyak kelapa dan diberi
sumbu dari sobekan kain dan dinyalakan. Ini merupakan lambang
kehidupan, dimaksudkan agar kita selalu mengisi kehidupan ini dengan
hal-hal yang diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Air putih lambang kesucian. Agar kita selalu bersih, baik lahir maupun batin.
Lambang Kerukunan
Selain
tumpeng, biasanya juga muncul berbagai kue basah yang biasa disebut
jajan pasar. Kue ini ditata dalam satu wadah yang melambangkan kerukunan
dan persatuan dari berbagai suku dan manusia. Nasi yang disajikan pun
terdiri dari empat macam, yaitu nasi kuning, nasi brok, nasi byar, dan
nasi golong. Semua nasi-nasi tersebut melambangkan bibit manusia
generasi mendatang. Maksudnya agar kita hati-hati dan penuh perhatian
dalam “membuat” keturunan sehingga menghasilkan generasi yang unggul.
Panggang ayam dan ingkung adalah lambang ayah- ibu dan pengorbanan selama hidup
mereka dalam membesarkan kita. Sesaji ini dimaksudkan agar kita hormat
pada orangtua dan mencintai sesama dengan ikhlas, seperti kedua orangtua
mencintai kita.
Pisang raja merupakan
lambang keberhasilan. Maksudnya agar kita mempunyai tujuan hidup atau
cita-cita yang berguna bagi nusa, bangsa, dan sesama serta berusaha
meraihnya sampai berhasil.
Sekat padi melambangkan manusia yang berisi, baik lahir maupun batin.
Buah-buahan,
dari yang mentah sampai yang matang merupakan lambang dari proses
pematangan diri manusia. Pematangan diri yang mengikuti proses alam dan
tidak karbitan akan menghasilkan pribadi yang kuat. Berbagai macam daun,
mulai daun kluwih, daun pohon beringin, daun andong dan puring,
melambangkan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu, kita
harus selalu ingat kepada-Nya dengan selalu melaksanakan segala
perintah-Nya.
Tebu wulung melambangkan
kekuatan dan kemantapan batin. Diharapkan, budi pekerti dan kepribadian
kita kukuh dan tegak seperti tanaman tebu tersebut.
Janur kuning merupakan
lambang cahaya terang. Agar kita selalu mendapatkan jalan yang lurus
dan diridloi Allah dalam menjalani hidup ini. Tajali nur.
Taplak kain mori berwarna putih melambangkan
kesucian. Dimaksudkan agar segala tindak tanduk kita didasarkan pada
hati dan pikiran yang suci bersih, tidak dikotori oleh kecurigaan.
Payung agung merupakan
lambang perlindungan. Ditujukan kepada pamong atau pejabat agar selalu
melindungi rakyatnya dari “hujan” dan “panas” kehidupan.
Dupa ratus dan wawangian merupakan
lambang ketentraman. Dengan menjaga nama diri, keluarga, negara, dan
bangsa, diharapkan hidup kita akan nyaman dan tentram.
Umbul-umbul dari
pohon bambu dihiasi janur kuning melambangkan kebesaran Tuhan Yang Maha
Agung. Selain itu juga agar kita selalu ingat dan melestarikan budaya
yang telah diturunkan oleh nenek moyang.
Kiranya
seperti itulah aura semiotika dari macam-macam syarat (ubo rampe) dalam
sebuah konsep ritual peringatan dalam masyarakat Jawa.Berangkat dari
sebuah local genius ,
nenek moyang telah memberikan pesan-pesan yang terselubung, tinggal
bagaimana kita mampu memahami dan memaknai dari tiap pesan yang
“sengaja” dikirimkan oleh para leluhur untuk kita agar lebih mencintai
dan mengambil manfaat dari hasil sebuah warisan budaya.